INDOPOS-Menjelang MUBES VIII Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi 1982 Silaturahmi Ke Pj. Gubernur DKI Jakarta
Silaturahmi Bamus Betawi dengan ketua Umum H. Riano P. Ahmad dan Bamus Suku Betawi 1982 dengan Ketua Umum H. Oding ke Pj. Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, Selasa (6/12/2022) dibalaikota DKI Jakarta adalah peristiwa yang lajim dilakukan kepada pejabat baru dalam rangka silaturahmi dan mengenalkan diri sebagai adab ketimuran, serta menyampaikan visi-misi serta dinamika organisasi.
Menurut Tahyudin Aditya, menyikapi wacana islah atau bersatu kembali di tubuh Bamus Betawi, perlu kita refleksi dan mengingat kembali peristiwa 4 tahun yang, dimana konflik yang terjadi saat Mubes 7 pada hari Minggu, 2 September 2018 di hotel dihadiri 106 ormas anggota Bamus Betawi adalah peristiwa biasa sebagimana terjadi pada organisasi lain baik dalam forum Mubes, Muktamar, kongres, dll.
“Konflik yang terjadi saat Mubes Bamus Betawi terjadi karena ada dua pandangan dan pendapat yang berbeda saat pembahasan,” ujar Tahyudin.
“Ketua Umum BAMUS BETAWI dipilih dan ditetapkan oleh Majelis Adat Betawi dalam MUBES” 2/3 Peserta menginginkan adanya perubahan yakni “ Ketua Umum BAMUS BETAWI dipilih dan ditetapkan oleh Peserta MUBES, pada ayat ini 2 (dua) Pendapat saling berargumentasi yang cukup alot yang akhirnya pimpinan sidang menginisitaifi untuk diputuskan secara voting karena dengan cara bermusyawarah sudah tidak ada titik temu, akhirnya pimpinan sidang komisi bertanya kepada peserta
“Yang siap untuk Voting Berdiri” namun hal ini tidak diterima oleh pihak yang berbeda pendapat akhirnya mereka keluar meninggalkan rapat (Walk out) dan yang masih didalam ruangan rapat masih ada sebayak 80% peserta atau lebih dari 2/3, sehingga rapat dilanjutkan karena dinyatakan qorum. 2/3 organisasi yang menyatakan wolk out selanjutnya menyatakan diri menolak hasil Mubes VII dan beberapa minggu kemudin mengelar Mubes di Kawasan Ancol yang melahirkan organisasi baru dengan nama Perkumpulan Musyawarah Masyarakat Suku Betawi Sembilan belas delapan dua dengan nahkoda H. Zaenudin yang dikenal dengan sebutan H. Oding, maka dengan digelarnya mubes ancol dan melahirkan nama baru sejatinya konfik berakhir.
Konflik yang terjadi ditubuh bamus seharusnya tidak perlu melibatkan pihak luar yang menjadi konsumsi public dan menjadi komoditas politik di parlemen termasuk pemerintah , karena konfik akan berakhir sendiri saat digelar Musyawarah Besar berikutnya tingal bagaimana H. Oding cs mau ngak hadir atau tidak, dan berjuang kembali sesuai harapannya.
Karena dalam Mubes diperlukan keputusan cerdas untuk dipersembahkan kepada masyarakat Betawi dan masyarakat Jakarta umumnya, tidak perlu Bamus Betawi berganti nama sebagimana yang diwacanakan, pergantian nama organisasi tidak menjadi penting selama watak dan karakter pengurus organisaisi tidak berubah, dengan menganti Bamus Betawi maka akan menghilankan nilai-nilai historisnya, menganti nama adalah cara kolonialisme dalam menghapus sejarah dan peradaban sebagaimana yang terjadi pada etnis betawi, yang diperlukan adalah adanya kesadaran dan sikap dewasa untuk membangun masyarakat Betawi sesuai dengan cita-cita Bamus Betawi didirikan oleh para tokoh-tokoh terdahulu, kalaupun Bamus Betawi harus berganti nama, AD/ART Bamus Betawi sudah mengantur didalam pasal-pasalnya dan itu dilakukan dalam Musyawarah Besar atau bila perlu digelar MUBESLUB. Konflik yang terjadi harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua, jangan karena konflik lalu ada gagasn bikin organisasi baru atau tandingan lalu yang lama dibubarkan, kalua hal ini dilakukan dan diturutin makan setiap Mubes akan selalu terjadi konflik yang sama, lalu kapan organisasi berbuat untuk kemaslahatan bagi anggota dan masyarakat, kita rasakan bagai mana konflik menguras energi dan perhatian sehingga pencapain tujuan serta cita tidak dapat dilaksanakan secara maksimal, saya sebagi generasi muda hanya dapat berdoa semoga para sesepuh Betawi dapat menjadi suri tauladan serta perekat dan menjadi orang tua yang bijaksana dan adil serta kaum muda yang agresif serta peka terhadap kebutuhan masyarakat Betawi. (bwo)