Indoposnewsid_Upaya Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) merumuskan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pesantren disambut positif oleh kalangan akademisi dan ulama setempat.
Guru Besar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga penasihat MUI dan LPTQ Tangsel, Ahmad Tholabi Kharlie, menyebut kebijakan ini sebagai momentum penting untuk menegaskan pesantren sebagai arus utama pembangunan religius di Tangsel.
“Pesantren bukan lembaga baru dalam sejarah bangsa. Ia bagian dari denyut nadi perjuangan kemerdekaan. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang kemudian melahirkan Hari Santri menjadi bukti nyata peran santri dan kiai dalam menjaga Indonesia,” tutur Tholabi di Ciputat, Selasa (23/9).
Menurutnya, sejarah panjang itu menjadikan pesantren lebih dari sekadar lembaga pendidikan agama. Pesantren adalah pranata sosial yang melahirkan kader-kader bangsa.
“Dari pesantren lahir tokoh-tokoh yang berperan di dunia pendidikan, dakwah, ekonomi, hingga birokrasi. Artinya, pesantren tidak pernah absen dari perjalanan republik,” tambahnya.
Mengikuti Arus Nasional
Tholabi melihat rencana Perda ini sebagai kelanjutan dari pengakuan negara yang semakin kuat terhadap pesantren. Ia menyinggung rencana Kementerian Agama membentuk Direktorat Jenderal Pesantren sebagai penanda arus utama di tingkat pusat.
“Jika di pusat sudah dipikirkan penguatan kelembagaan lewat Ditjen Pesantren, maka di daerah Tangsel perlu menunjukkan keberpihakan melalui Perda. Inilah cara pemerintah daerah memastikan pesantren mendapat tempat strategis,” jelasnya.
Dengan jumlah pesantren yang cukup besar dan karakter yang beragam, Tangsel memiliki modal sosial-keagamaan yang kuat. “Kota ini bukan hanya modern dan akademis, tetapi juga religius. Perda pesantren akan memastikan wajah religius itu tidak hilang dalam arus urbanisasi,” katanya.
*Lebih dari Sekadar Formalitas*
Meski demikian, Tholabi mengingatkan agar naskah perda tidak berhenti pada tataran normatif. “Kalau hanya menyalin pasal dari Undang-Undang Pesantren, hasilnya sekadar repetisi. Perda harus menjawab kebutuhan khas pesantren Tangsel, dengan norma yang konkret, relevan, dan bisa dijalankan,” ujarnya.
Ia menyebut dukungan konkret Pemkot mutlak diperlukan, mulai dari subsidi sarana, beasiswa santri, peningkatan kapasitas tenaga pengajar, sampai pemberdayaan ekonomi pesantren. “Kebijakan inilah yang membedakan perda dengan regulasi umum. Pesantren perlu mendapat dukungan nyata agar mampu berkembang sesuai zamannya,” tegasnya.
Selain peran pemerintah, Tholabi menekankan perlunya partisipasi publik. “Pesantren hidup bersama masyarakat. Karena itu perda mesti mengatur ruang kolaborasi. Masyarakat, dunia usaha, hingga program CSR bisa digerakkan untuk memperkuat ekosistem pesantren,” imbuhnya.
Religiusitas yang Nyata
Dalam pandangannya, Perda Pesantren akan menjadi instrumen penting untuk mewujudkan visi Tangsel sebagai kota Cerdas, Modern, dan Religius. “Religiusitas jangan berhenti pada slogan. Ia harus hadir dalam kebijakan publik. Pesantren adalah mitra strategis pemerintah untuk membangun karakter, meningkatkan literasi keagamaan, sekaligus menjaga moralitas publik,” ungkapnya.
Tholabi juga menilai pesantren di Tangsel sudah mulai bergerak ke ranah yang lebih luas, termasuk pendidikan formal, teknologi, hingga kewirausahaan.
“Potensi ini luar biasa. Dengan dukungan kebijakan daerah, pesantren dapat memberi kontribusi nyata pada pembangunan Tangsel,” ujarnya.
Ia menutup dengan mengingatkan Perda Pesantren sebagai momentum sejarah. “Kalau disusun matang, perda ini akan menjadi tonggak penting bagi identitas religius Tangsel sekaligus menguatkan peran pesantren dalam pembangunan kota,” pungkas Tholabi.