Indoposnewsid_Komisi I DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran bersama perwakilan dari platform digital global, yakni Google/YouTube, Meta, dan TikTok pada Selasa (15/7).
Pertemuan ini menjadi wadah untuk menggali masukan dan melakukan pemetaan lebih dalam terkait penyiaran digital serta implikasinya terhadap pembentukan regulasi yang tengah dibahas dalam RUU Penyiaran.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, menyampaikan bahwa forum ini penting untuk menggali data dan perspektif dari pelaku industri digital, terutama terkait kontribusi ekonomi dan ekosistem digital nasional.
“Dari YouTube, Meta, dan TikTok sudah memberikan paparan tentang kerja dan juga capaian. Akan tetapi yang justru ingin kita dengar itu perputaran ekonominya, sumbangsih ekonomi ke dalam bangsa, perputaran perdagangan apakah dari shop-shop yang ada di dalam,” kata Dave dalam keteranganya.
Komisi I menyoroti bahwa seiring meningkatnya traffic dan transaksi digital, perlu ada kejelasan sejauh mana kontribusi nyata dari masing-masing platform terhadap perekonomian nasional, termasuk aspek perpajakan.
“Perputaran ekonominya sudah tinggi, tapi kembali ke negaranya seberapa besar? Karena pemerintah kan juga memiliki target pajak setiap tahunnya. Nah, sumbangsih dari dunia digital ini bagaimana?” ujar politisi Fraksi Partai Golkar itu dalam sesi pendalaman rapat.
Terkait imbal balik kepada negara, Dave lantas menyinggung tingginya perhatian pemerintah terhadap sektor digital, baik di era pemerintahan sebelumnya maupun saat ini.
Langkah konkret seperti pembangunan infrastruktur jaringan dan pelaksanaan Analog Switch Off (ASO) dinilai sebagai bentuk dukungan serius terhadap perkembangan digitalisasi nasional.
“Tujuannya untuk memastikan bahwa bandwidth-nya tersedia, terus juga dibukanya frekuensi-frekuensi dengan adanya ASO kemarin. Hal itu berdampak pada bisnis bapak-ibu sekalian karena menggunakan infrastruktur digital,” tambahnya.
Dave menekankan bahwa masukan dari para platform digital dibutuhkan untuk memperkuat isi RUU Penyiaran. Ia berharap peraturan yang nantinya lahir tidak menjadi kontroversi atau digugat karena minim dialog dengan pemangku kepentingan.
“Hal ini yang ingin kita dalami agar aturan undang-undang ini jelas dan benar-benar berdampak. Jadi jangan undang-undang ini kita buat, lalu diajukan lagi ke MK, mentah lagi. Atau disampaikan di media bahwa ini merugikan satu pihak, padahal ketika kita membuat tidak ada masukan dari rekan-rekan sekalian,” tegasnya.
Pada rapat tersebut, pihak TikTok Indonesia melalui Head of Public Policy and Government Relations, Hilmi Adrianto, menjelaskan bahwa platform tersebut mencatat 125 juta pengguna aktif bulanan di Indonesia.
Dengan 8 juta kreator yang 63 persen diantaranya mampu menghasilkan pendapatan melebihi upah minimum.
Terdapat pula 21 juta penjual lokal aktif di TikTok Shop dan Tokopedia, dengan 60 persen konten promosi mendukung produk lokal.
Menanggapi sorotan terkait perpajakan Hilmi menyampaikan bahwa pihaknya berkomitmen untuk mematuhi seluruh regulasi perpajakan yang berlaku di Indonesia.
Ia menyebut bahwa sejak tahun 2020, TikTok telah ditunjuk sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dan telah menjalankan kewajiban tersebut, baik dari pendapatan iklan maupun sumber lainnya.
Namun saat dikonfirmasi lebih lanjut, laporan penyetoran pajak TikTok hanya dapat diakses oleh kalangan terbatas dan belum tersedia secara publik.
Menanggapi hal tersebut, Komisi I DPR RI meminta agar laporan tersebut dapat diserahkan kepada DPR untuk ditelaah lebih lanjut secara menyeluruh. Dave menegaskan pentingnya transparansi dalam hal ini.
“Agar kita tahu progresnya itu, sumbangsih pajaknya itu seberapa besar kepada ekonomi Indonesia sehingga kita buat aturannya tuh yang sesuai, yang ramah kepada investor dan memiliki dampak positif kepada pertumbuhan ekonomi bangsa,”terangnya.