- Advertisement -spot_img
BerandaNEWSOptimalisasi Penerimaan Pajak Melalui Penerapan SIN Pajak, Demi Kemandirian Fiskal Indonesia

Optimalisasi Penerimaan Pajak Melalui Penerapan SIN Pajak, Demi Kemandirian Fiskal Indonesia

- Advertisement -spot_img

FOTO IST

indoposnews.id – Universitas Pelita Harapan (UPH) menggelar Webinar Nasional kajian akademik: Optimalisasi pajak Melalui Penerapan SIN (single identity number) Pajak demi Kemandirian Fiskal Indonesia, Jumat (28/5/2021). Acara yang juga digelar secara virtual itu menghadirkan pembicara kandidat Doktor, Hadi Poernomo, Dirjen Pajak tahun 2021-2006 dan Ketua BPK 2009-2014.

Webinar tersebut diawali sambutan pengarahan dari Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 dan Ketua Dewan Pengarah BRIN. Serta dilanjutkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang menjadi keynote speaker acara tersebut.

Sementara itu, dalam sambutannya Megawati Soekarnoputri mengatakan, Hadi Purnomo menjadi partner diskusi. Bagaimana berdiri di kaki sendiri di sektor ekonomi.

“Saat menjadi presiden, banyak berdiskusi soal SIN. Saat itu pak Hadi menjadi Dirjen Pajak. Menjelaskan soal SIN Pajak,” ujarnya.

Megawati juga mengatakan, konsep awal transparansi Perpajakan, sebenarnya sudah dikenalkan berpuluh tahun lalu oleh founding father kita, Bung Karno.

Megawati juga menjelaskan, SIN Pajak memiliki manfaat. Seperti meningkatkan penerimaan pajak. Dapat mencegah korupsi. Dan mampu mewujudkan Indonesia sejahtera.

“Terbukti pada kepemimpinan saya 2001-2004, berturut-turut target pajak tercapai,” jelasnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, “Saya menyambut baik Webinar oleh pak Hadi. Yang tahu benar mengelola institusi pajak,” ujarnya.

Sementara itu, Hadi Poernomo dalam webinar tersebut membahas mengenai Optimalisasi Penerimaan Pajak Melalui Penerapan SIN Pajak Demi Kemandirian Fiskal Indonesia. Menurutnya, penelitian ini disusun secara ilmiah, sejak September 2019 sampai ujian tertutup kandidat doktor ilmu hukum Maret 2021.

Secara umum strategi optimalisasi penerimaan adalah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Dalam perwujudan optimalisasi penerimaan tersebut diperlukan adanya sebuah transparansi perpajakan.

“Konsep transparansi Pajak di Indonesia lahir tahun 1965 dimana Bung Karno mengeluarkan Perpu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Konsep tersebut dibangun kembali secara lebih modern. Dengan menggunakan IT dengan nama SIN Pajak sejak 2001 melalui Grand Strategy DJP, disusul dengan Kepber Pemerintah dan DPR pada 16 Juli 2001 yang kemudian dituangkan dalam UU 19/2001 pada November 2001,” jelasnya.

Hasilnya kata Hadi, adalah tax ratio Indonesia mengalami peningkatan sampai dengan lebih dari 12%. Pada tahun 2004 tercatat tax ratio Indonesia sebesar 12,3% dan tahun 2005 tax ratio Indonesia mencapai 12,5%.

Namun pemberlakuan SIN Pajak dirasa masih memiliki beberapa hambatan. Pertama, KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, Simplifikasi) antar departemen yang kurang berfungsi.

Kedua, adanya regulasi-regulasi lain yang memberikan ketentuan kerahasiaan, antara lain Keppres Nomor 68/1983 tentang Deposito, SK Direksi BI Nomor 27/121/KEP/DIR tentang Penyampaian NPWP dan LK dalam Permohonan Kredit, UU Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal, UU Nomor 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, UU Nomor 10/1998 tentang Pokok-Pokok Perbankan, dan UU Nomor 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa.

Ketiga, adanya inkonsistensi regulasi. Keempat, adanya anggapan bahwa SIN Pajak merupakan data mati dan mahal. Pada Juli 2007, DPR mengesahkan UU 28/2007 dimana SIN Pajak diatur dalam Pasal 35A yang memberikan pengaturan bahwa adanya kewajiban semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak lain wajib untuk saling membuka data non rahasia baik yang finansial/non finansial dan interkoneksi dengan sistem perpajakan DJP.

“UU ini memberikan jawaban kurang berfungsinya KISS, dan berhasil menghapus beberapa ketentuan kerahasiaan. Meskipun belum seluruh UU yang terdapat pengaturan mengenai kerahasiaan,” jelas Hadi.

Akhirnya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpu 1/2017 yang mengatur secara khusus mengenai akses informasi keuangan. Untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI yang kemudian pada Agustus 2017 disahkan oleh lembaga legislatif melalui UU 9/2017.

“UU ini menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU yang belum dapat dihapuskan oleh UU 28/2007,” jelas Hadi.

Sebagai peraturan pelaksanaan UU.28/2007, Pemerintah mengesahkan PP 31/2012 sebagai peraturan pelaksanaan atas UU tersebut.  Namun adanya delegasi peraturan pelaksanaan untuk diatur dalam PP yang ternyata disubdelegasikan dalam peraturan menteri, serta perdirjen sehingga tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan.

Selain itu adanya substansi pengaturan yang melampaui peraturan yang di atasnya, antara lain adanya penambahan fasilitas, pembatasan penggunaan dan pembatasan nilai yang berarti peraturan di bawahnya melampaui peraturan di atasnya.

“Pembentukan peraturan yang tidak sesuai kaidah tersebut, ternyata memiliki efek yang lebih luas. Dengan peraturan yang tidak sesuai kadiah menyebabkan peraturan yang terbentuk tidak dapat diimplementasikan,” jelas Hadi.

Akibatnya KISS yang terbentuk dalam level UU secara pelaksanaan tidak dapat diimplementasikan. Karena pengaturan yang disubdelegasikan tidak dapat mengatur pada tingkatan koordinasi yang seharusnya.

Akibatnya tax ratio dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2020 tax ratio Indonesia hanya mencapai 7%.

“SIN Pajak memberikan solusi konkret dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan,” terang Hadi.

Dengan menggunakan konsep link and match SIN Pajak, DJP akan dapat memetakan sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan.

SIN Pajak mampu menyediakan data wajib pajak yang belum membayar kewajiban perpajakannya. Uang atau harta baik dari sumber legal maupun ilegal selalu digunakan dalam 3 (tiga) sektor, yaitu konsumi, investasi, dan tabungan. Sektor-sektor tersebut wajib memberikan data dan interkoneksi dengan sistem perpajakan.

Artinya uang dari sumber legal maupun ilegal tersebut dapat terekam secara utuh dalam SIN Pajak. WP yang menghitung pajak dan mengirimkan SPT ke DJP dan SIN Pajak akan memetakan data yang benar dan data yang tidak benar. Serta data yang tidak dilaporkan dalam SPT.

“Artinya tidak ada harta yang dapat disembunyikan oleh WP. Sehingga WP akan patuh dan jujur melaksanakan kewajiban perpajakannya, karena tidak adanya celah penghindaran kewajiban perpajakan,” jelas Hadi.

Dengan optimalisasi penerimaan perpajakan tersebut tentu penerimaan perpajakan akan mencapai target, bahkan akan sangat dimungkinkan akan dapat melebihi target pajak yang telah ditetapkan.

“Imbasnya adalah akan tercipta kemandirian fiskal Negara. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa Melalui Penerapaan SIN Pajak Akan Membantu Optimalisasi Penerimaan Pajak Dan Mewujudkan Kemandirian Fiskal Indonesia,” ujarnya. (dri).

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Harus Baca
- Advertisement -spot_img
Artikel terkait
- Advertisement -spot_img