- Advertisement -spot_img
BerandaNEWSJadi Khatib Shalat Idul Adha 1444 H di Jalan Matraman, Ketua Umum...

Jadi Khatib Shalat Idul Adha 1444 H di Jalan Matraman, Ketua Umum Yayasan Al Mukarromah Ramdansyah Kritik Pejabat dan Selebriti yang Suka Flexing

- Advertisement -spot_img

foto ist 

indoposnews.id – Ketua Umum Yayasan Masjid Al Mukarromah-Koja, Jakarta Utara, Ramdansyah menjadi Khatib Shalat Idul Adha 1444 H, di Jalan Matraman Jakarta Timur, Kamis (29/6/2023).

Shalat Idul Adha 1444 H di Jalan Matraman diselenggarakan oleh Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Jakarta Timur. Dalam khutbahnya, Ramdansyah mengangkat tema Pengorbanan di Tahun Politik.

Dalam ceramahnya Ramdansyah mengkritik sikap pamer atau flexing yang dilakukan pejabat, istri pejabat dan selebriti.

Biasanya yang dipamerkan adalah yang melekat pada tubuh orang tersebut. Benda-benda yang melekat seperti sepatu, jam tangan, baju dengan nilai ratusan hingga mencapai miliaran rupiah

Menurut Ramdansyah visi suci haji adalah melepas keangkuhan dan ego yang lekat pada simbol baju yang putih tanpa jahitan.

“Pada saat istri pejabat, anak pejabat dan selebriti menampilkan flexing pesan ibadah haji adalah menegasikan ini. Flexing adalah perilaku seseorang yang memamerkan atau menunjukkan kekayaan atau kemewahan yang dimilikinya,” ujar Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta 2008/2009 dan 2011/2012.

Ramdansyah dalam ceramahnya menjelaskan, siapapun yang berhaji, yang salah satu rukunnya ihram malah memerintahkan penggunaan pakaian putih tanpa jahitan. Umumnya, tidak bermerek dan tidak ada simbol Dolce Gaban, Louis Vitton, atau merek-merek terkenal lainnya.

“Di sini kita diingatkan bahwa flexing bukan tindakan yang tepat di saat banyak umat yang menderita kesusahan dan kelaparan. Jelas, semua benda yang melekat pada diri kita dapat melambangkan kekuasaan dan strata,” ujar Ramdansyah.

Dalam keadaan ihram, semua ini ditanggalkan agar manusia sederajat. Manusia tampak sebagai manusia yang sama. Inilah humanisasi. Semua orang harus dihargai. Saat memakai pakaian non ihram simbol ego manusia menjadi lebih tampak. Tetapi, dengan pakaian ihram, ego-ego manusia dihilangkan.

“Ihram membebaskan strata, golongan, dan kasta dalam masyarakat. Islam memandang sama manusia. Haji menunjukkan kepada kita agar menjadi orang yang berpikir. Berpikir bahwa kita semua sama, kecuali ketaatan kita kepada Yang Maha Suci, Allah swt. Berbeda, karena semakin kita mendekati kepada Allah, maka kita semakin orang tercerahkan. Menjadi Ulul Albab,” jelas Ramdansyah yang merupakan Staf Pengajar STISIPPB Sopeng.

Haji jelas Ramdansyah merupakan perjalanan sosial yang sarat makna. Padanya terdapat seperangkat aktivitas simbolik tentang perjalanan umat manusia menuju tingkat ketakwaan sejati.

Haji adalah merupakan upaya penerapan kesetaraan baik dalam persepsi teologis maupun sosiologis.

“Coba lihat jamaah haji tawaf mengelilingi Ka’bah. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusian yang sama. Tiada yang mulia maupun yang hina, karena yang ada hanyalah dua eksistensi yakni; Tuhan dan manusia yang menyatu dalam sebuah momen ritual yang unik,” jelas Ramdansyah.

Kedua kata dia, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Kita dilarang berhubungan seksual. Dilarang mencabut pepohonan, menyiksa binatang, menumpahkan darah, bahkan dilarang membunuh atau menumpahkan darah.

“Dilarang juga berhias supaya setiap jama’ah haji menyadari bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula nafsu birahi; dan bahwa hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan ruhani. Dilarang pula menggunting rambut dan kuku supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap kepada Tuhan sebagaimana apa adanya,” jelasnya.

Dalam ceramahnya Ramdansyah yang juga Pimpinan Rumah Demokrasi juga menjelaskan bahwa Ukhuwah Islamiyah menjadikan muslim sebagai warga dunia, kosmopolitan. Ketika kita merasa menjadi bagian dari kampung besar dunia atau global village, maka kita perlu berpijak dan menghormati.

Ramdansyah juga menekankan pentingnya Ukhuwah Wathoniyah. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, budaya dan agama maka kita berkewajiban mewujudkan Persatuan Indonesia sebagai ukhuwah wathoniyah.

“Sebagai warga kosmopolitan, maka kemajemukan suku bangsa, bahasa, budaya dan agama adalah take it for granted bagi muslim. Seorang muslim memiliki ikatan Ukhuwah Islamiyah, maka dirinya otomatis memiliki Ukhuwah Wathoniyah,” jelasnya.

Ukhuwah Islamiyah yang kita inginkan jelas Ramdansyah, maka tidak meninggalkan keberadaan ukhuwah wathoniyah.

“Dengan kemajemukan yang ada, maka penerimaan keberadaan anggota agama lain adalah bagian dari pengakuan kita terhadap negara kesatuan republik Indonesia (NKRI),” jelas Ramdansyah.

“Moralitas yang kita kedepankan adalah saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama sebagaimana terkandung dalam nilai-nilai Pancasila,” imbuhnya.

Sementara itu dalam ceramahnya, Ramdansyah juga mengingatkan untuk mewaspadai berita hoax yang dapat memecah belah umat.

“Kita diminta untuk memperhatikan dan menghindari hoax agar tidak terjadi pertarungan politik yang memecah belah di Tahun Politik 2023/2024. Pilihan ada di tangan masing-masing kita untuk kita renungkan dan jadikan pilihan terbaik, tanpa harus menjelekan yang lain. Siapapun calon pemimpin pilihan rakyat memiliki kelebihan dan kekurangan. Menerima kekurangan dan kelebihan adalah bagian pengorbanan kita untuk berbangsa dan bernegara. Kita akan menjadi Ulul Albab selama kita merenung, meneliti dan mengkaji pilihan politik dan diendapkan,” jelas Ramdansyah.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Harus Baca
- Advertisement -spot_img
Artikel terkait
- Advertisement -spot_img