- Advertisement -spot_img
BerandaNEWSBOLEH KAGET TAPI JANGAN MASA BODOH (5): “MENGIMPIKAN AMANDEMEN KE-5”

BOLEH KAGET TAPI JANGAN MASA BODOH (5): “MENGIMPIKAN AMANDEMEN KE-5”

- Advertisement -spot_img

MAYJEN TNI (PURN) PRIJANTO

WAGUB DKI JAKARTA, 2007-2012

RUMAH KEBANGKITAN INDONESIA, 6 JUNI 2021

Pada 7 Januari 2021, Ultah ke-3 Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI), diadakan curah pendapat  antara beberapa tokoh intelektual seperti Prof. Dr. Jimly Asshiddieqie, Prof. Dr. Zaenal, Prof. Dr. Budihardjo, Dr. Ubedilah Badrun  dengan  Purnawirawan TNI-Polri yakni  Jenderal TNI Purn Agustadi Sasongko Purnomo, Laksamana TNI Purn Selamet Subiyanto, Marsekal Muda TNI Purn Amirullah Amin, Irjenpol Purn Taufiequrachman Ruky.

Dari organisasi, Letjen TNI Purn Kiki Syahnakri (Ketua Persatuan Purnawirawan TNI-AD), Mayjen TNI Purn Soekarno (Sekjen Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri). Sedangkan dari GKI, saya bersama beberapa teman aktivis pejuang antara lain Hariman Siregar, B. Wiwoho, Bakri Abdulah, Ibnu Tadji, dr. Zulkifli S. Ekomei, Edwin Sukowati dan Nur Ridwan.

Penulis membuka acara, mengajak dan mengingatkan bahwa perjuangan kita dulu dipelopori kaum intelektual, Budi Utomo. Dalam situasi seperti saat ini, diharapkan kaum intelektual tampil kembali memeloporinya. Tidak ada komentar dan yang membantahnya. Satu yang pasti, semua  menyampaikan pendapat dan solusi bagaimana  agar Indonesia tetap bersatu untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional. 

Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo, membagikan buku “Kaji Ulang Perubahan UUD 1945”, hasil Forum Bersama Purnawirawan TNI-Polri dan Organisasi Mitra Seperjuangan. Dikatakannya, hasil amandemen UUD 1945 telah menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, sehingga perlu diadakan Kaji Ulang terhadap hasil amandemen. Ujung-ujungnya, konstitusi kita harus UUD 1945 asli disertai adendum. Pemikiran ini sama dengan yang disampaikan Letjen TNI Purn  Kiki Syahnakri, Ketua PPAD. 

Di samping itu, ada info-info menarik yakni  seputar  pembicaraan   antar  elite  politik  dengan beberapa pakar atau tokoh intelektual di MPR. Wacana pokoknya, mencermati kehidupan bernegara saat ini, munculah wacana untuk melakukan amandemen ke-5 terhadap konstitusi kita. 

Rangkuman   info pembicaraan   antara   lain,   ada  kelompok yang ingin mengembalikan kedudukan dan peran MPR. Ada yang ingin jabatan Presiden tiga periode. Ada pula yang ingin kembali ke UUD 1945 asli untuk disempurnakan dengan adendum. Namun, ada kelompok yang berpendapat lebih baik MPR membuat GBHN saja, sedang keinginan yang lain tunda dulu.

Wacana   amandemen   ke-5   untuk   membuat GBHN lebih menguat. Bagi kelompok lain, konon bersedia menerima dengan harapan, langkah amandemen ke-5 membuat GBHN bisa sebagai tahapan membangun kesadaran semua pihak dan batu loncatan, untuk melakukan perubahan konstitusi. Dengan adanya MPR membuat GBHN, berarti niat untuk dikembalikannya kedudukan, peran, fungsi dan tugas MPR ibaratnya tinggal selangkah lagi. 

Penulis berpendapat, GBHN memang diperlukan. Tetapi persoalan bangsa Indonesia saat ini bukan karena tidak punya GBHN. Persoalan utamanya adalah retaknya Persatuan Indonesia, yang nyaris terbelah. Untuk apa ada GBHN tetapi kehidupan sosial budaya rusak, konflik sosial sepanjang tahun di semua strata kehidupan sehingga persatuan retak akibat adanya Pilpres dan Pilkada langsung? Disintegrasi bangsa diujung tanduk.

Baca: 

https://kronologi.id/2021/02/11/obrolan-punakawan-6-mengapa-hanya-gbhn- seharusnya/ 

Pada acara  tersebut, Irjenpol Taufiequrachman Ruky mantan Ketua KPK,  menyampaikan pemikirannya, menyambung pemikiran Dr. Ubedilah Badrun. Dr. Badrun menguraikan situasi negara dengan judul “Senjakala Persatuan Indonesia” karena adanya Sistem Politik yang tidak efektip. Akibatnya, terjadi performa buruk antara lain korupsi, ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum.

Taufiequrachman Ruky sependapat dengan Dr. Badrun bahwa Persatuan Indonesia dalam ‘Senjakala’, yang merupakan ‘outcome’ dari proses politik dan sewaktu-waktu bisa pecah. Undang-undang dan Undang-undang Dasar kita saat ini tidak mungkin bisa memperbaikinya. Untuk itu Taifiequrachman Ruky mengusulkan perlunya amandemen ke-5 terhadap konstitusi. 

Amandemen ke-5 yang diusulkan hanya berisi dua pasal saja. Pertama, membatalkan amandemen ke-1, 2, 3, dan amandemen ke-4. Walau tidak secara eksplisit, berarti hukum dasar tertulis kita kembali UUD 1945 (asli). Kedua, memperbaiki sistem Ketatanegaraan, sistem Pemilu, sistem Hukum, sistem Hubungan Antar Lembaga, dll, kata Taufieq Ruky.

Memasuki tahun 2021, gaung amandemen ke-5 MPR menyusun GBHN meredup. Patut diduga, dan konon, ada elite dan tokoh politik atau kekuatan tertentu yang tidak setuju adanya GBHN. Tampaknya ada ketersinggungan di seputar elite politik atas wacana ini. Bisa jadi demikian, karena ada kelompok yang  patut diduga, lebih suka dan menikmati jika sistem pembangunan Indonesia dari visi dan misi Presiden terpilih.

Pada pertengahan tahun 2021, tiba-tiba masyarakat dikejutkan kembali berita Amandemen ke-5 untuk masa jabatan Presiden 3 periode. Betapa tidak terkejut, karena pemberitaannya santer. Bahkan lembaga survei pun sudah ada yang ikut campur ‘mengolahnya’. Orang mencari-cari, ini pesanan siapa? Berbagai komentar pro dan kontra pun mencuat. Anehnya, suara-suara yang muncul ada yang serius, dan ada yang malu-malu kucing. Satu hal yang pasti, ada ketidakkonsistenan kita terhadap amanah konstitusi.

Melihat pemberitaan di media, wacana Amandemen ke-5 tentang jabatan presiden 3 periode  memang semrawut, tidak mendengar adanya kajian dan secuil alasan yang obyektif dan logis. Semua asal ucap, penuh teka-teki. Untungnya, yah sekali lagi untungnya, Presiden Jokowi dalam pemberitaan di media, terkait jabatan Presiden 3 periode beliau menyatakan tidak tertarik. Suatu pernyataan bagus, walau tanpa alasan akademisnya. Ketidaktertarikan beliau, tampaknya sejalan dengan hasil jajak pendapat yang disajikan di medsos, bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak menghendaki mimpi tersebut.

Mengimpikan amandemen ke-5 belum ada larangan. Mimpi adalah kembangnya tidur sore. Silakan mengimpikan amandemen ke-5, apa saja judulnya, sebelum dilarang. Cuma, apakah amandemen ke-5 yang akan dilakukan MPR saat ini memiliki landasan hukum? Bab XVI Pasal 37 konstitusi kita sebagai landasan hukumnya? Bila saya bilang penggunaan Bab XVI Pasal 37 tidaklah obyektif dan logis, pembaca tentu terkejut dan mengatakan saya gila.  Namun, hal ini akan kita kupas bersama pada artikel selanjutnya. Selamat mengimpikan amandemen ke-5.[*]

_________________

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Harus Baca
- Advertisement -spot_img
Artikel terkait
- Advertisement -spot_img