Indoposnewsid_Anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja menyampaikan sejumlah catatan kritis dalam RDPU Panja Penyiaran bersama para pakar dan akademisi terkait revisi UU Penyiaran.
Abraham menggarisbawahi urgensi definisi yang tepat mengenai konsep penyiaran dan pengawasan terhadap platform digital agar tidak terjadi tumpang tindih regulasi dengan UU lainnya, seperti UU ITE dan KUHP baru.
“Saya ingin bertanya kepada Prof. Masduki, bagaimana definisi penyiaran yang tepat menurut Prof? Karena saya masih belum sepenuhnya memahami apa yang dimaksud dengan co-regulation. Kalau platform digital mau dimasukkan dalam RUU Penyiaran, bentuk co-regulation-nya seperti apa?” ujar Abraham dalam apat yang digelar di Ruang Rapat Komisi I, Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (21/7/2025).
Politisi Fraksi Partai Golkar tersebut menilai bahwa jika konsep co-regulation memberi KPI kewenangan dari hulu ke hilirmulai dari pendaftaran hingga pengawasan maka hal ini bisa menimbulkan kerumitan, khususnya jika mencakup seluruh platform digital, termasuk media sosial dan layanan game interaktif.
“Kalau KPI juga mengatur platform seperti X atau bahkan platform game yang ada fitur chatting-nya, ini akan menimbulkan problematika formal dan legal. Harus jelas batasannya. Kalau memang sejauh itu cakupannya, mungkin nama KPI juga harus diubah. Ini akan menimbulkan kebingungan secara hukum,” kata Abraham dalam keterangan tertulis.
Kepada Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, Abraham menyoroti potensi tumpang tindih pengaturan pidana dalam RUU Penyiaran dengan ketentuan yang sudah diatur dalam UU ITE Nomor 1 Tahun 2024 dan KUHP baru. Ia menyatakan tidak sepakat jika ketentuan pidana dimasukkan ke dalam RUU Penyiaran tanpa memperhatikan konsistensi antarregulasi.
“Dalam UU ITE terbaru, pengaturan pidana akan berlaku sampai KUHP baru berjalan. Kalau kita masukkan lagi ketentuan pidana dalam RUU Penyiaran, maka akan terjadi tumpang tindih. Apalagi KUHP yang baru sudah memuat ketentuan tentang kejahatan siber. Saya mengusulkan agar ketentuan pidana ini di-review ulang,” ujar Abraham.
Lebih jauh, Legislator Dapil DKI Jakarta II itu juga mengajukan pertanyaan lanjutan mengenai bagaimana mendefinisikan dan membedakan secara tegas antara televisi konvensional dan platform digital jika keduanya tetap dimasukkan ke dalam RUU Penyiaran. Hal ini penting agar tidak terjadi perluasan wewenang yang berlebihan, terutama bagi lembaga seperti KPI.
“Saya sepakat bahwa TV konvensional dan platform digital adalah dua hal yang berbeda. Tapi kalau kita tetap mau masukkan ke dalam satu undang-undang, harus ada definisi yang jelas dan solusi konkret agar tidak menyasar ke semua platform digital seperti game atau media sosial, yang bukan ranah penyiaran tradisional,” tegas Abraham.
Turut hadir dalam RDPU Panja Penyiaran ini tiga pakar utama, yakni Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, Prof. Dr. rer. soc. Masduki, dan Dr. Ignatius Haryanto Djoewanto, sebagai bagian dari proses pendalaman substansi revisi Undang-Undang Penyiaran oleh Komisi I DPR RI