Guru Besar UIN Jakarta Ajak Bangun Tangsel dengan Semangat Kurban

Indoposnewsid_Pagi itu, Jumat (6/6/2025) langit Serpong seolah membuka dirinya lebih luas dari biasanya. Gema takbir menggema dari setiap sudut kota, mengalun merdu dari pelataran Islamic Center Baiturrahmi, tempat pelaksanaan Sholat Idul Adha tingkat Kota Tangerang Selatan 1446 H.

Sejak pukul lima pagi, jemaah mulai berdatangan, memadati halaman dan ruas jalan sekitar masjid. Mereka datang membawa sajadah, keluarga, dan tentu saja harapan. Dalam barisan terdepan, hadir Wali Kota Tangerang Selatan Drs. Benyamin Davnie, Sekretaris Daerah, Asisten Daerah, pimpinan OPD, serta para ulama, dan tokoh masyarakat.

Tidak sekadar perayaan, Idul Adha di Tangsel kali ini terasa sebagai momen perenungan kolektif, dan itu semakin terasa saat K.H. Imam Abda Hayat, S.Q., M.A. memimpin shalat dan dilanjutkan oleh khotbah yang menggugah jiwa dari Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Prof. Tholabi membuka khotbah dengan kisah klasik namun tak pernah basi: tentang seorang ayah yang rela mengorbankan putranya demi ketaatan kepada Tuhan. Tentang Nabi Ibrahim dan Ismail, dua jiwa yang diikat bukan oleh darah semata, tapi oleh cinta yang total kepada Ilahi.

“Bayangkan, seorang ayah di usia senja, baru dikaruniai anak, tiba-tiba diminta menyembelihnya. Dan sang anak justru berkata, ‘Wahai ayahku, laksanakan apa yang diperintahkan padamu. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar’,” ucap Tholabi dengan suara bergetar.

Ia menekankan bahwa peristiwa itu bukan sekadar sejarah, tetapi pelajaran hidup bahwa iman sejati tidak diukur dari retorika, tetapi dari pengorbanan nyata.

Khotib kemudian menyelam ke makna terdalam kurban. Ia mengutip Hadis dari Ahmad dan Ibnu Majah bahwa setiap helai bulu hewan kurban bernilai pahala. Namun, ia segera mengingatkan,

“Daging dan darah kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tapi yang sampai adalah ketakwaan kalian.” (Q.s. al-Hajj: 37). Maka, kurban bukan tentang ritual fisik semata, melainkan latihan spiritual untuk mengikis ego, membunuh kerakusan, dan menumbuhkan keikhlasan.

Dalam struktur yang rapi, Tholabi yang juga Wakil Rektor UIN Jakarta, menguraikan empat pilar spiritual kurban, yakni: pertama, ikhlas, sebagai dasar segala amal. Memberi tanpa pamrih, bukan untuk pujian, tetapi karena Allah. Kedua, taat, sebagaimana Ibrahim dan Ismail tunduk mutlak pada perintah Tuhan.

Ketiga, peduli, karena kurban sejatinya adalah mekanisme sosial untuk mendekatkan yang berpunya kepada yang papa. Dan keempat, rela berkorban, sebab tak ada kebaikan tanpa pengorbanan.

“Tanpa keikhlasan, amal menjadi kering. Tanpa ketaatan, cinta menjadi semu. Dan tanpa kepedulian, masyarakat menjadi sunyi,” ujarnya tegas.

*Membangun Tangsel dengan Semangat Kurban*

Bagian paling reflektif dari khotbah itu hadir saat Prof. Tholabi menyandingkan semangat kurban dengan moto daerah Kota Tangerang Selatan, yakni: cerdas, modern, dan religius.

“Cerdas bukan sekadar gelar atau IPK. Modern bukan hanya soal teknologi. Dan religius bukan tampilan luar,” katanya.

Ia menekankan bahwa warga yang ikhlas dalam belajar, guru yang mengajar dengan niat ibadah, ASN yang melayani tanpa pamrih, dan pengusaha yang berbagi, semuanya bagian dari proyek besar menciptakan Tangsel sebagai kota bernurani.

Prof. Tholabi bahkan menyentuh isu kekinian, yakni kecerdasan buatan (AI). Ia mengakui manfaat teknologi, tetapi juga memperingatkan bahayanya jika tidak dibimbing nilai.

“Teknologi tanpa nilai hanya akan mempercepat kerusakan. AI bukan ancaman jika dipandu oleh keikhlasan, ketaatan, dan kepedulian,” katanya sambil menekankan perlunya kecerdasan spiritual dan sosial sebagai pelengkap kecanggihan digital.

Di penutup khotbah, Prof. Tholabi mengajak semua lapisan, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintahan, untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kurban di rumah, orang tua mendidik dengan ikhlas; di kantor, pejabat bekerja dengan taat dan peduli; di masyarakat, warga berbagi dan membantu; dan di pemerintahan, pemimpin rela mengorbankan kepentingan pribadi demi rakyat.

“Jika semua warga Tangsel menanamkan nilai kurban, maka kita tidak hanya akan memiliki kota yang cerdas secara teknologi, tetapi juga luhur secara akhlak,” ucapnya di penghujung khotbah.

*Dari Masjid ke Masyarakat*

Usai sholat dan khotbah, panitia mulai menyembelih hewan kurban. Warga tak segera pulang. Sebagian menetap, bersalaman, atau sekadar menyerap makna. Di tengah geliat modernisasi, pagi itu menjadi momen hening: saat teknologi ditundukkan oleh takbir, saat kesibukan kota dilampaui oleh kesadaran ruhani.

Tangsel memang sedang tumbuh dalam angka, infrastruktur, dan sistem. Tapi jika semangat kurban ini benar-benar dihidupkan, maka kota ini akan tumbuh pula dalam nurani. Dan itulah pertumbuhan yang sejati.[]

mgid.com, 893675, DIRECT, d4c29acad76ce94f